Sabtu, 26 November 2011

Ternyata Aku


Ternyata Aku

“Tuuuut……” begitu rajin weker subuh itu berdering nyaring, pertanda kereta segera berhenti, bagaikan menganak, ribuan manusia keluar dari mulut hitammu. Ah tak pernah ku merasa heran.
            Aku sibak sarung pak’e yang sudah sedikit robek dibagian pantatnya yang kujadika selimut hangatku meski tak sehangat selimut presiden, itu selimut warisan berharga bagi orang sepertiku. Ah pantulan di sarung pak’e yang permanen tak dapat lagi dibenarkan, karna saking seringnya di pakai, dan tak pernah di setrika. Katanya sih sarung favorit, padahal karena sarung pak’e cuman tiga, jadi satu dipakek satu di cuci satu lagi masih kotor. Jadi deh cuci kering pakek.

            “Le…. Cepetan bangun! wes jam 5 ini lho.” Weker kedua yang sangat merdu suaranya, suara emak yang rajin membangunkanku tatkala aku tak juga bangun. Emak yang sibuk menata kue untuk dijajakan ke pasar hari ini, lama menunggu jawaban dariku, ku tak bergeming, kudengar suara langkah sendal wanita 27 tahun ini yang tampak lebih tua dari usianya.
            Emak membuka tirai kamar, aku masih melungker di balik sarung pak’e.  “Le…. Ayo bangun! Kue emak nanti sudah ditunggu pelanggan.”  ah jika bukan karena aku takut tak bisa makan, ku tak juga bangkit dari persemayamanku. Simbok yang sibuk menyalakan api dari tungku asap hitamnya menolehku sebentar mendongakkan sedikit kepalanya dan memandang kopi di meja, mengisyaratkan kopi untukku siap kuminum, ah simbok aku mencintaimu dengan kopi hitammu.
***
            Aku belum cukup mengerti maksud orang-orang dewasa, karna usiaku masih 8 tahun, dan tak tahu mengapa dipasar ada orang berpawakan besar marah dan membentak tak jelas pada emak, sekilas kudengar.
            “Sudah hampir setahun tak kau lunasi! Dasar wong kere! Masih juga bilang besok! Satu minggu lagi tak kau lunasi, surat tanahmu yang jadi ganti!”  ah mendengarnya seperti rentenir di TV saja, atau jangan-jangan emak memang punya utang sama mereka?. Jadi teringat peristiwa setahun lalu, ketika pak’e ternyata berpenyakiyan TBC sudah hampir mati, barulah diperiksakan ke bidan terdekat, itupun kudu cari hutangan ke tetangga, terlebih lagi saat bu bidan menhyarankan supaya emak membawa pak’e ke rumah sakit, emak kalang kabut mencari hutangan duit, jalan terakhir pinjam duit ke rentenir itu.
            Hampir dua minggu di rumah sakit akhirnya pak’e sembuh selamanya, tanpa nafaslah mungkin pak’e akan lebih tenang dan aku tak akan berisik mendengar ”uhuk-uhuk”nya pak’e lagi…. Untuk pemakaman pak’epun emak bingung mencari duit…. Dan lagi jalan terakhir menambah hutang ke rentenir tadi.
***
            Kampung sedang rame dengan datangnya yu wiwik, yang sekarang berpenampilan serba Luks, mobil merah yang mentereng, rok mini merah yang menggoda siapapun yang melihatnya, termasuk aku yang baru berusia 8 tahun, bedak tebal yang seolah menghabiskan satu toko, bedakpun masih kurang, liven merah yang menempel dibibirnya,bak habis makan ayam mentah saja, namun begitu itu yu wiwik semakin menggoda, darinya aku mendapat baju baru, kue-kue mahal seperti makanan orang gendonganpun ku dapat dari yu wiwik, kupikir hebst benar yu wiwik, baru juga setahun hijrah ke surabaya, dia sudah mampu bergaya ala orang hongkong, ah jadi pengen ikut yu wiwik kerja di surabaya. Kira-kira apa ya kerjaannya.
            Kata orang-orang dikampung sih, yu wiwik kerja di Ndoli, ah tempat apa itu, belum pernah aku mendengarnya, mungkin sebuah perusahaan besar.
***
Yu wiwik datang mencari emak, mengiming-imingi emak betapa mudahnya bekerja seperti dia, awalnya emak menolak, tapi yu wiwik tak menyerah begitu saja merayu emak.
            “Alah yu…ndak usah dipikir lama-lama, rugi tenan kalo gak ikut aku, siapa nanti yang bayar hutang-hutangmu, simbok juga sudah tak bisa lagi jualan jajan dipasar, Tole juga masih kecil, mau cari duit dari mana dia. Wes tala… kerjane penak temen kok yu, ndak capek, cuman sampean nanti kudu dandan sepertiku ini saja sudah banyak duit, sampean kan masih muda, di poles sedikit juga masih terlihat kinyis-kinyis, ndak seperti dipasar yang panas, gerah, opo maneh pas waktu hujan becek yu… beda sama aku, biarpun kringetan tapi tetep ae enak kerjane yu, opo meneh kerjo pas waktu hujan tambah uenak, ora adem tapi anget… hahaha”. Yu wiwik cekakakan sampai telaknya terlihat, ah ngeri.
            Akhirnya hutang-hutang pada rentenir yang melunasi yu wiwik, dan emak berangkat ke surabaya juga. Aku tak merasa sedih, tapi tak terasa juga air mataku jatuh juga, ah cengeng. Simbok yang tak mengizinkan emak berangkat, tak mau mengantar emak barang di rumah saja.
***
            Sebulan, emak mengirim uang. Setahun, aku mengharap emak pulang, tak juga kunjung pulang. Akhirnya haul pak’e seminggu lagi, tapi emak? Ah emak kemana saja kau mak? Aku yang sedang pusing-pusingnya memikirkan duit dari mana buat hajatan seribu harinya pak’e. Tiba-tiba sebuah Avanza mampir kedepan rumah, tanpa kusadari aku teriak, “Emaaaaaak” aku lari disusul langkah simbok yang tergopoh yang kaget akan teriakanku tadi, emak menangis tanpa isak, dan simbok… ah tak bisa aku memastikan apakah simbok juga menangis??.
***
“pak’e…?”, kudapati pak’e disebuah tempat yang tak kukenal, ah tempat yang aneh, pak’e pun juga nampak aneh, wajah yang hitam tanpa senyuman, bajunya compang-camping dan kurus tubuhnya membuatku tak tega, ah aku seperti mimpi.
            “Le… kasian emakmu” Aku tak mengerti apa maksud pak’e dengan kebingunganku saat ini yang aku tak tahu sekarang aku ada dimana. Pak’e melanjutkan, “Tak usah bingung le… tahu ndak emakmu di Surabaya kerja apa? Emakmu jadi lonthe, makanya pak’e sekarang seperti ini”. Aku terperanjat kaget setengah mati, tak percaya dengan ucapan pak’e, tapi memang emak tak pernah mau cerita tenteng pekerjaannya di Surabaya, di ndoli. “makanya wajah, baju dan tubuh pak’e tak karuan, tak pernah ada yang mengirim pak’e makanan, barang al_fatihah satupun, hari ini seribu hari aku terkubur, tahu ndak emakmu selametan ini dapat duit dari mana? Dari jual isi kutangnya le….”. Sumpah aku tak karuan mendengar kata-kata pak’e yang terakhir, serasa dunia menghimpit tubuh kurusku dan menguburku hidup-hidup. “jika kau masih bingung mengapa sekarang kau ada disini, pulanglah le… kau akan tahu jawabannya!!”
***
Tiba dirumah begitu riuh.. ah kukira ada hajatan seribu harinya pak’e, tapi kenapa kupandang simbok begitu sedih, bahkan aku baru kali pertama melihat air matanya, emak? Mana ya emak, ingin sekali ku tanya pada emak tentang yang dikatakan pak’e, tapi ketika kutemukan emak, emak begitu lemas dan air matanya tak pernah berhenti keluar, ada apa sebenarnya orang-orang? Kenapa aku tak tahu sendiri.
Ah biarlah dulu, aku ingin main-main dengan teman-temanku yang biasa bermain di rel kereta. Sepi, aku melihat ada banyak darah, ah pasti kecelakaan lagi, tak heran aku melihatnya. Aku kembali pulang dan ternyata orang-orang ke pemakaman umum, dan benar ada yang kecelakaan, tertabrak kereta.
Sekilas aku merasa heran. Begitu melihat batu nisan yang bertuliskan ”Eka Ramadhan Bin Bunyamin Lahir 13 Maret 1999, Wafat 10 Mei 2010” baru aku tersadar mengapa simbok dan emak menangis tak henti-hentinya, dan kenapa aku bias bertemu dengan pak’e di tempat yang aneh, yang ternyata itu adalah alam barzah. Ternyata itu diriku, orang yang tertabrak kereta.
Oh…. Betapa ku ingin kembali ke dunia, bersujud memohon ampun untukku, untuk simbok yang menyayangiku dengan kopi hitamnya, untuk pak’e yang ternyata kelaparan di kubur sana, untuk emak yang sekarang jadi lonthe…. Yang tanpa permisi izroil menjemputku tanpa ku tahu. Lihatlah diriku seperti apakah aku nanti di sini, tanpa celengan amal baikku dan tanpa seorangpun yang akan mengirimiku makanan meski hanya satu al_fatihah saja….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar